“Apalagi yang ingin kau lakukan kini?” tanya seorang perempuan kepada teman laki-lakinya.
“Hanya berorasi, melakukan aksi. Haha..biasa, mahasiswa.” Jawab lelaki itu. Sang perempuan mengangkat satu alisnya. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran temannya yang satu ini. Seseorang yang sudah ia kenal sejak masih menggunakan seragam putih-biru. Dan kini, saat mereka sudah menginjak jenjang tertinggi pendidikan di negeri ini, perempuan itu seolah tidak mengenal pribadi lelaki yang ada di sebelahnya ini. Rhena nama perempuan itu. Dan teman lelakinya bernama Hendra.
Bagaimana mungkin Rhena seolah tidak mengenal pribadi lelaki satu ini, jika:
- - Dulu, Hendra paling malas jika disuruh bergabung pada sebuah organisasi. Sekarang, bergabung pada organisasi-organisasi kampus adalah sebuah kewajiban baginya.
- - Dulu, Hendra paling tidak suka jadi orang (sok) sibuk. Malahan, ia sering merasa kesal dengan orang yang berpura-pura sibuk itu –menurutnya-. Kini, jika ia tidak melakukan sebuah kesibukan, ia akan tampak seperti orang yang sedang sakau. Kesibukan adalah kebutuhan.
- - Dulu, Hendra termasuk pada jajaran anak-anak bandel dan pengisi ‘buku dosa’ terbanyak di sekolah. Tapi kini, inilah komentar-komentar orang mengenai Hendra:
“wah…Hendra itu berwibawa banget ya..”
“aura pemimpinnya itu lho…bikin melting…”
Itu adalah beberapa komentar yang akan kita dengar jika berada didekat Hendra. Orang yang berwibawa, penuhh jiwa kepemimpinan, dan yang pasti, seorang Presiden Mahasiswa di kampus mereka. Berbanding seratus delapan puluh derajat dari Hendra yang dulu. Bagaimana mungkin Rhena tidak dibuatnya terdiam sendiri dengan segala perubahan ini?!
Memang, setiap orang pasti akan semakin berpikir dewasa sesuai dengan bertambahnya usia. Tapi, tidak semua orang yang bisa langsung menerima segala perubahan dari orang yang sudah dikenal sejak lama. Segalanya butuh proses, kan??
“Ah…kerjaan kau hanya berorasi, tak adakah hal yang lain yang bisa kau kerjaan?? Jika kau mau, aku bisa memberimu pekerjaan. Bersihkan sana rumahku. Mulai dari isi rumah hingga halaman.” tanya Rhena dengan sedikit bercanda. Hendra yang mendengar gurauan Rhena tertawa kecil. Gadis yang satu ini, selalu saja asal ceplos saat berbicara.
“Ada. Ada hal lain yang bisa aku kerjakan.” Jawab Hendra. “Tapi tak ada salahnya, kan, jika kita ‘menegur’ pemerintah jika sudah salah koridor kepemimpinan mereka??”
“yayaya…tapi kan wajar jika manusia melakukan kesalahan?!”
“memang. Manusia tempatnya salah. Tapi jika salahnya terus-terusan, kewajiban kita lho untuk meluruskannya…” lagi-lagi Rhena dan Hendra melakukan perdebatan kecil. Hanya hal satu ini yang tidak pernah berubah sejak dahulu. Perdebatan mereka. Hanya mereka dan kekeraskepalaan mereka. Dan pemenang dari perdebatan kecil ini selalu saja sama.
“tidak mudah memimpin negeri ini, boi!” Rhena mengeluarkan pendapatnya.
“memang tidak mudah. Dan mereka semua pasti menyadari itu. Jika mereka melakukan kesalahan, maka masyarakat, terutama mahasiswa tak pernah tinggal diam.”
Rhena terdiam. Ia sedang berpikir, bagaimana caranya ia akan membalas perkataan lelaki satu ini?! Selalu saja ada jawabannya atas semua perkataan Rhena.
“tapi lihatlah! Kau tidak kasihan dengan mereka?? Mereka terus-terusan dikecam oleh mahasiswa di setiap tindakannya. Bagaimana jika kau nanti berada di posisi mereka? Di kecam oleh mahasiswa…” Hendra tersenyum. Jawaban yang mudah untuk pernyataan Rhena ini.
“Maka dari itu, selama masih menjadi mahasiswa, kita manfaatkan saja keadaan ini. Sebelum nantinya tiba giliran kita??”
Senyum penuh kemenangan terkembang di bibir Hendra. Sedangkan Rhena sendiri hanya terdiam. Lagi-lagi Hendra yang memenangkan perdebatan mereka. Entah takdir apa yang sedari dulu mengitari?! Apa mungkin sejak mereka bertemu dahulu, telah ada ‘kutukan’ bahwa Rhena tak akan pernah menang dalam adu pendapat dengan Hendra?? Entahlah, hanya Tuhan dan takdir yang mengerti.
“sudah. Kau jangan kebanyakan melamun. Aku pergi dulu. Terima kasih untuk minuman ini. Jika kau ingin menyusul, kau tau persis aku kini melakukan aksi dimana.” Hendra mengedipkan matanya sekilas pada Rhena kemudian melenggang pergi. Tak ada hal lain yang bisa ia sanggah.
Ujung Pelangi
12 Juni 2011
***
Ini inspirasinya aku dapatkan lagi-lagi saat menjelang tidur. Setelah sebelumnya aku ngamen di Dago malam Minggu kemarin. Terima kasih untuk pengalamannya teman-teman :D
0 comments:
Post a Comment