Tuesday, July 24, 2012

A Letter


Dear my besties friend,
Maaf untuk kemarahanku kala itu. Saat itu aku kehilangan kendali atas diriku. Tapi sungguh, saat itu yang aku rasakan keterkejutan luar biasa atas kabar yang kau berikan. Hampir seminggu, dan kau baru mengabari kami. Itu pun setelah aku menanyakan perihal status kau yang cukup frontal.
Aku pribadi saat itu meresa sedih, bahkan kecewa berat terhadapmu. Iya, mungkin kami memang orang-orang pertama yang kau kabari setelah orangtuamu. Tapi…hei! Ini tak hanya sekedar urusan siapa yang pertama. Kau tahu persis bagaimana kami sebelum berita itu kau sampaikan.
Did you know what I’m feeling at that time? I feel like a fool. Kurang bodoh apalagi coba?! Status yang kalian pakai, sudah 'senada seirama'. Tapi kami tidak tahu apa-apa. Malah mencoba sok-sok menebak, alasanmu memasang status seperti itu. Sungguh, aku merasa seperti disuruh mencari buku yang aku tidak tahu seperti apa, padahal buku itu persis di depan mataku.
Apa sudah kau pikirkan, akibat dari keputusan besar yang kau ambil itu? Akan banyak pandangan miring terhadap kalian. Dan itu sangat mungkin terjadi. Aku saja sudah punya pemikiran kesana. Karena urusan ini sudah menjadi pelik sejak awal. Kau pasti tak tahu, bagaimana khawatirnya kami terhadapmu.
Sudahlah. Akhirnya kami memilih diam. Cuma untuk kau mengerti, bagaimana perasaan kami saat itu dan kami ingin melihat sikapmu selanjutnya. Maybe it’s not easy, cause I really disappointed with you. But our friendship is precious one.

Friday, July 13, 2012

Pagi Dingin


Pagi ini terasa dingin. Tanah masih menyisakan jejak-jejak sisa hujan malam tadi. Cuaca seperti ini sesungguhnya tidak terlalu aku nikmati. Bagaimana tidak? Dengan suhu yang menurun begini, aku sebenarnya lebih memilih menggelung diri daripada harus menyiksa diri disini. Belum banyak sesuatu yang berarti yang bisa aku nikmati.
Aku tertawa miris dalam hati. Dan juga terus berpikir, mengapa aku bisa begini. Aku kehilangan. Dan yang lebih tragis lagi, kehilangan jiwa sendiri. Dinding yang berdiri kokoh ini seakan memberi sugesti, kau tidak akan bisa mandiri. Aku langsung seperti manusia yang kehilangan destinasi. Membuat hati mengkerut seakan ingin mati.
Aku melemparkan visualku ke segala arah. Memperhatikan mereka semua yang sepertinya terarah. Tidak sepertiku yang bersusah payah untuk tak menyerah. Pagi dingin begini, serasa kian memperparah. Menyerahlah…kau akan selalu kalah, bisik si setan bedebah.

Tulisan Cerewet 5 : Tolong Saya!


Saya bingung. Sampai saat ini, saya belum menemukan keasikan dari kata ‘ngantor’ dari pada ‘ngampus’. Saat di kantor, saya lebih banyak bertingkah bingung dan tak tentu arah. Saya melakukan pekerjaan yang entah mengapa terasa kacau di kepala saya. Saya sulit berkomunikasi. Otamatis, saya menjadi sulit mengungkapkan kesulitan saya, apalagi isi hati. Saya belum pernah mengalami kesulitan berkomunikasi separah ini.
Saya juga sering merasa jenuh. Pekerjaan yang saya lakukan, hanya pada satu ruangan itu saja selama 8 jam lebih, dikurang waktu beristirahat selama 1,5 jam. Selama di kampus, saya selalu mengerjakan tugas berpindah-pindah agar tak jenuh. Saya harus sering-sering berganti suasana. Walaupun, saya lebih betah mengerjakan tugas di kantin. Hei, jangan salah! Di kantin suasananya juga sering berganti kok. Kadang ngeselin, kadang nyenengin dan kadang-kadang lainnya. Oh iya, dan juga…di kantin saya cukup sering mendapat hiburan gratis dari orang-orang yang genjrang-genjreng gitar dan nyanyi-nyanyi. Hei, mereka bernyanyi tidak dengan asal-asalan lho…

Ini Aneh

Ini aneh. Saya tidak bisa mengerjakan tugas di kantor saat semua kehidupan disini berjalan dengan lambat dan kaku. Saya juga tidak bisa mengerjakan di rumah pada malam hari. Karena saya manusia yang berjenis pelor alias nempel molor, saat siang hari tidak menyentuh kasur sama sekali, berarti malam adalah waktunya merdeka. Saya sungguh bingung berada di lingkungan yang sepenuhnya kaku seperti disini. Saya tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Kehidupan saya serasa berjalan ditempat.
Entah apa yang salah. Yang jelas ini aneh. Ini bukan saya yang kehidupannya selalu saya bawa ringan. Saya yang selalu bertingkah ‘mengagumkan’ (bukan makna sebenarnya) bagi sekeliling saya, saya yang tak pernah merasa seberat ini.
Apa yang salah?
Ya ampuunn…lagi-lagi pertanyaan seperti ini yang saya lontarkan. Ini sungguh-sungguh aneh. Saya tidak pernah terlalu mempermasalahkan kehidupan sosial saya, sekarang malah berbalik penuh keluhan. Hampir setiap saat saya selalu menghela napas tertahan. Berharap agar beban yang tak jelas bentuknya ini, bisa lepas dari pundak saya. Padahal kehidupan disini baru berjalan kurang dari dua minggu, tapi saya bertingkah selayaknya manusia yang telah menanggung beban berat hampir di seperempat hidupnya.
Saat semua orang terlihat sibuk dengan kegiatannya, saya lebih banyak sibuk dengan pikiran saya yang kusut. Dari kemarin, saya sibuk mengurai benang kusut ini. Menemukan ujung dan pangkal dari kekalutan pikiran saya. Saya lebih sering bertingkah bodoh dengan lebih banyak bengong seolah-olah dengan begitu kehidupan saya akan berjalan lebih baik. 
Bodohnya…padahal dengan bersikap begitu membuat aku kian terlihat suram. Aku sadar. Tapi tak ada yang bisa aku lakukan. Karena aku sungguh masih merasa asing disini. Disini aku tak bisa menjadi aku. Disini aku tidak bisa menjadi ‘biasa’.