Mama...aku rasanya
ingin menangis. Sudah kutahan semampuku, namun sesak itu selalu ada
menggelayuti hatiku. Berulang kali pikiran bahwa hidup tak berlaku adil
menghampiri, namun segera kutepis. Karena katamu, Tuhan selalu adil terhadap
semua makhluknya, adil terhadap semua hal yang terjadi di atas bumi ini. Bahkan
sehelai daun yang jatuh bekerja karena hendaknya.
Mama...kadang
rasanya satu malam jauh lebih panjang dai biasanya. Dan pada saat itu, aku akan
sulit untuk memejamkan mata. Apakah aku telah mengecewakan kalian? Apakah aku
telah gagal? Pertanyaan seperti itu selalu berputar di kepalaku. Dan membuat kalian
kecewa adalah hal terakhir yang akan aku lakukan.
Mama...apakah hidup
ini sungguh adil?
Aku sudah berusaha
keras dalam setiap tindakanku. Namun mengapa masih saja ada batu besar yang
menghalangi setiap langkahku? Mengapa saat aku melihat orang yang tak peduli,
setiap langkahnya baik-baik saja? Atau itu hanya pandanganku saja? Aku hanya
tidak tahu kesulitan apa yang sesungguhnya menghampiri setiap langkah mereka. Ya,
mungkin aku hanya tidak tahu.
Mama...kata mereka,
perempuan hebat adalah ia yang pada saat menangis tidak ada satupun manusia
yang mengetahuinya, apakah aku sudah menjadi perempuan yang hebat, Ma? Tapi kurasa
belum. Aku bahkan merasa sangat malu karena dinding kamar seolah mencemoohku
saat ini. Mereka seolah berkata, “Sudah jangan sok! Kami tahu kau menagis!”
Rasa-rasanya benda matipun dapat membaca isi hatiku.
Sabar itu buahnya
manis, katanya. Sudahkah aku bersikap sabar, Ma? Bisakah aku memetik buah yang
manis itu?
Bandung, 18 November 2013
tiranika