Thursday, November 7, 2013

Review Buku: Negeri Para Bedebah




Penulis          : Tere Liye
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Terbit            : Juli 2012
Halaman       : 440
ISBN           : 978-979-22-8552-9


Di negeri para bedebah, kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata
Di negeri para bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah
Tetapi setidaknya. Kawan, di negeri para bedebah,
petarung sejati tidak akan pernah berkhianat



Buku ini menceritakan tentang Thomas, seorang konsultan keuangan profesional yang hari-harinya sibuk diisi dengan konferensi, seminar, wawancara dll. Konflik cerita ini dimulai saat Thomas menerima telepon dari orang yang dibencinya, yaitu Om Liem, adik dari ayah Thomas. Om Liem mengabarkan bahwa rumahnya telah dikepung oleh satu peleton polisi serta keadaan tantenya yang memburuk. Orang kepercayaan Om Liem, Ram, menceritakan tentang duduk permasalahannya: Bank Semesta milik Om Liem tidak bisa menutup kliring antarbank. Kalah kliring sebesar lima miliar.
Thomas akhirnya membantu omnya untuk kabur dari kepungan polisi. Dengan intrik, tipu daya yang mengagumkan, Om Liem dan Thomas berhasil kabur dari rumah. Pada akhirnya, banyak pihak yang Thomas libatkan untuk masalah ini. Karyawan terbaiknya, teman-teman di klub petarung, Opa yang di sayanginya, hingga wartawan yang menaruh rasa sebal dengannya juga turut serta. 
Bagaimana mungkin, Thomas yang membenci Om Liem akhirnya ikut terlibat dalam pelarian tersangka kejahatan keuangan? Alasannya sederhana. Ini tak hanya lagi kisah tentang pelarian Om Liem, orang yang berbisnis dengan cara yang jahat, namun juga tentang dendam anak berumur enam tahun atas kematian kedua orangtuanya. Thomas akhirnya memilih menyelamatkan Bank Semesta setelah mendengar nama dua orang yang menjadi alasan dendamnya hingga puluhan tahun terlibat dalam masalah ini. Inilah awalnya. Awal atas dendam puluhan tahun dengan segala cara licik yang bisa membuat kita menahan napas saat membacanya.

“Apakah hidup ini adil? Papa-mama mati terbakar. Dua bedebah itu menjadi orang penting di negeri ini. Satu menjadi bintang tiga kepolisian, hanya soal waktu dia jadi kepala polisi. Satunya lagi jaksa paling penting dan berpengaruh di korpsnya, hanya soal waktu menjadi jaksa agung. Aku kembali, Julia. Sejak tadi malam aku memutuskan kembali ke keluarga ini. Aku akan membalaskan setiap butir debu jasad papa-mama. Beri aku waktu dua hari, kau bisa menuliskan semuanya. Aku punya rencana. Aku bukan lagi anak kecil enam tahun yang berlari-lari mengantar susu. Akulah bedebah paling besar dalam cerita ini”
Penilaian pertama saya atas buku ini ialah ceritanya yang sangat berbeda dari cerita Bang Tere selama ini. Di dalam buku ini, kita akan banyak menemukan istilah-istilah ekonomi yang bagi orang awam akan sulit dimengerti. Jujur saja, pada halaman-halaman depan, saya mesti mengerutkan dahi karena sulitnya memahami beberapa istilah yang digunakannya. Namun, akhirnya Bang Tere memberikan perumpamaan-perumpamaan sederhana yang lebih mudah untuk dimengerti dari istilah tersebut. Ini dia kelebihan Bang Tere yang selalu saya salutkan.
Saya yakin, baik pembaca setia buku-buku Tere Liye ataupun hanya sekedar melihat atau membaca, pasti bersepakat soal judul dari novel ini sangat kontroversial. Belum lagi sampulnya yang bergambar pinokio berjas serta musang berbulu domba. Sedikit banyak dari sampul sudah menjelaskan beberapa hal dari isi buku ini. 
Kisah Bank Semesta ini mengingatkan saya dengan kasus yang pernah terjadi di kehidupan nyata kita. Belum lagi kisah pelariannya yang mendebarkan, pertarungan, kesetiaan hingga pengkhianatan semua ada di cerita ini. Thomas, sang tokoh utama, mampu mengubah pemikiran menteri, orang-orang kaya dan menaruh pion-pion sesuai tempatnya menjadi daya tarik dari cerita ini.  
Buku ini merupakan sindiran bagi pemerintahan yang masih korup, rusaknya sebuah tampuk kepemimpianan, penguasa yang suka semena-mena, pemimpin yang selalu berteriak membangun namun nyatanya menghancurkan, serta tabiat manusia yang haus akan uang dan kekuasaan.
Mari kita kupas satu-satu dari buku ini: 
  • Tokoh
Sebagai tokoh utama, sosok Thomas disini sangat saya sukai. Manusia yang diliputi dendam masa lalu terasa sungguh mengerikan. Rencana-rencana besar yang dijalankan olehnya membuat saya berdebar sendiri. Kemampuan dia untuk lolos dari kejaran para polisi serta pengkhianat patut diacungi jempol. Dan yang paling saya sukai, ialah bagaimana ia melakukan “sihir” untuk kabur dari sekumpulan besar polisi bersenjata lengkap -seperti hendak menangkap teroris- yang telah menunggu di bandara Bali. Rencana yang gila namun brilian.
  • Alur
Alur yang diberikan secara keseluruhan bagus. Dengan mengulas kisah kehidupan di masa lalu, semua misteri satu per satu terkuak. Pada akhirnya membuat saya terkejut tentang kenyataan pada masa lalu. Terutama tentang pengkhianat dari dalam keluarga Thomas. Puluhan tahun, keluarga Thomas ditipu mentah-mentah oleh orang yang dipercayai.
  • Tema Cerita

Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, di buku ini akan banyak di dapatkan istilah ekonomi, cerita tentang dendam, kesetiaan dan pengkhianatan. Walaupun berbeda dari tema tulisannya selama ini, Bang Tere tetap tidak meninggalkan ciri khasnya, yaitu menceritakan dengan sederhana, mengajari tanpa menggurui. Meski diliputi cerita akan dendam, tapi disini menunjukkan betapa besar rasa cinta Thomas kepada kedua orangtuanya. Segala risiko akan diambil, selama dendam atas kematian orangtuanya dapat terbalaskan. Dan saya akan sangat setuju jika buku ini juga di filmkan seperti buku-buku bang Tere yang sebelumnya, Hafalan Shalat Delisa dan Bidadari-Bidadari Surga serta serial Anak Kaki Gunung dari buku serial anak-anak mamak yang beberapa saat lalu sudah ditayangkan di televisi.
Walaupun tema cerita ini cukup hard, namun Bang Tere tetap menyisipkan hal-hal humor. Seperti kisah Opa Thomas yang suka mengulang-ulang cerita seperti kaset rusak. Belum lagi beliau yang sesungguhnya lebih lihai dalam berbisnis namun (mengakunya) adalah pemusik yang baik. Padahal ia payah. Semua alat musik sudah dicoba dan selalu ada alasan baginya saat tidak berhasil memainkan alat-alat tersebut. Ini mengingatkan saya pada salah satu tokoh kartun yang berada di dunia bawah laut itu. 
Atau pun pada adegan Fernando dan Esmeralda. Kalau seandainya buku ini mau di filmkan, adegan Fernando-Esmeralda ini WAJIB ada. Saya yang saat itu sedang membaca dengan serius, bisa langsung kelepasan tertawa membacanya. Well, selera humor Bang Tere itu bagus.
  • Ending
Ending dari cerita ini selesai namun tidak tuntas. Maksudnya, masih ada beberapa hal yang dibiarkan menggantung. Penyelesaian terhadap masalah dengan Tuan Shinpei tidak dijelaskan disini. Dan ya, penyelesaian masalah ini tertulis di buku kelanjutannya, yaitu Negeri Di Ujung Tanduk.
  • Pelajaran
Ada banyak pelajaran yang bisa saya dapatkan dari buku ini, diantaranya:


- Perbanyaklah teman, dengan begitu, saat kita ingin kabur dari kejaran satu peleton polisi kita akan mudah mendapatkan bantuan (Lho?). Bukan…bukan…karena sewaktu-waktu kita pasti akan membutuhkan pertolongan mereka.
- Hidup itu adil, terlepas dari segala kesusahan yang dulunya kita hadapi. Tuhan tidak pernah tidur. Akan ada jalan yang diberikan-Nya untuk kita yang bersungguh-sungguh.
-  Jadilah petarung sejati, manusia yang tidak pernah berkhianat.
- Segala sesuatu yang kita lakukan, mau perbuatan baik ataupun buruk, pasti akan ada balasannya. Siapa yang menanam, dia yang menuai. Tidak pun sekarang, pasti akan datang balasannya.

Secara keseluruhan buku ini tidak mengecewakan saya, sama dengan buku-buku Bang Tere yang lainnya. Jika mau, cerita ini juga dapat dibaca di fanpage Darwis Tere Liye di facebook dalam bentuk cerbung dengan judul Bangsat-Bangsat berkelas. Saya sendiri tidak tau perbedaan yang versi online itu dengan yang di buku ini, soalnya tidak saya baca :D
Saya kasih rate 4 dari 5 bintang untuk buku ini :)



0 comments:

Post a Comment