Tuesday, March 18, 2014

Review Buku: You Are The Apple Of My Eye by Giddens Ko


Jadi, adegan dalam cerita ini berawal dari tembok yang dipenuhi grafiti, lalu diam-diam membawa wajah cantik Shen Jiayi ke dalam cerita ini. Ceritaku, bukan, cerita masa muda kami, dimulai begitu saja.

Awalnya nggak niat-niat amat buat beli buku ini. Alasannya: udah nonton filmnya, dan udah tau akhirnya. Tapi setelah iseng bawa review cerita ini di Goodreads, saya baru teringat bahwa buku dan film punya sensasi yang berbeda, emosi yang tak sama, hingga akhirnya saya memutuskan untuk membacanya. Belum lagi saat saya tahu bahwa buku ini adalah semi autobiografi penulisnya sendiri, makin semangatlah saya.

Membaca buku ini seperti membaca buku harian seorang lelaki. Di ceritakan begitu jujur, santai dan apa adanya. Mampu membuat saya sebagai pembaca tertawa, termenung bahkkan menangis dalam hati. Iya, di dalam hati! Karena saya seperti 'dipaksakan' untuk merasakan sebagaimana anak laki-laki.

Jadi, jika saya lebih dulu membaca buku ini daripada menonton filmnya, saya yakin akan banyak protes. Karena banyak perbedaan dari segi cerita antara buku dan film, namun tidak mengubah pesannya. Hei...seperti yang saya bilang, buku dan film membawa emosi yang berbeda! Dan saya tidak merasa rugi membaca buku ini meski telah menonton filmnya.

Biarkan dunia ini bisa berubah sedikit demi sedikit karena ada aku.

Monday, February 3, 2014

Review: Koma by Rachmania Arunita



Judul           :    Koma
Penulis        :    Rachmania Arunita
Penerbit      :    Bentang Pustaka
Halaman     :    vi+298
Terbit          :    November 2013

Rating         : 3/5

Siapa aku ini? Pertanyaan itu terus berdentam-dentam dalam benakku.
Nyatanya, aku hanya seorang jiwa yang terombang-ambing di antara
kehidupan dan kematian

Entah kapan aku akan terbiasa dengan kondisi diriku ini. Aku tidak tahu mana yang lebih parah, hidupku sebelumnya ataukah yang sekarang. Semua terasa absurd
semenjak aku tidak bisa menjangkau dunia.

Perjalanan panjang yang kulalui bersama jiwa Leo membuatku menemukan
kedewasaan hidup. Dan, kerinduan mendalam yang kurasakan
kepada Raka membuatku ingin segera bangun dari tidur panjangku.
Hingga perlahan, tanpa kusadari aku mencintai keduanya.

Saya tertarik membeli buku ini karena ramai dibicarakan di twitter serta judulnya yang menarik, koma. Sesuai dengan kata penulis di bagian pengantar, buku ini merupakan simbol dari fase hidup yang stagnan dan penuh renungan.
Kisah mengenai Jani, seorang gadis yang mengalami kecelakaan dan membuat ia terjebak dalam situasi yang membingungkan. Dia tidak mengerti bagaimana bisa ia menembus gagang pintu serta melihat tubuhnya sendiri yang terbaring dalam keadaan yang mengenaskan. Saat itu dia bertemu dengan laki-laki lain yang ternyata dalam keadaan yang sama dengannya, Leo. Dari Leo ia tahu, bahwa ia sudah koma selama dua hari karena kecelakaan yang dialaminya bersama sang kekasih.
Selama menjadi jiwa yang lepas itulah, Jani banyak belajar. Apalagi dengan kehadiran jiwa Leo, Jani melihat segala sesuatu di sekelilingnya tidak hanya melalui mata, namun juga hatinya. Tentang semua yang terjadi serta orang-orang yang kita temui, semua memiliki alasan.


Untuk kali pertama, aku merasa telah menemukan sebuah hikmah di balik koma yang menimpaku. Jika bukan karena terlelap dalam koma, aku tidak akan mengubah cara pandangku terhadap keluargaku seperti sekarang ini.
Aku hanya yakin, setiap orang akan dipertemukan dengan orang-orang yang ia butuhkan dalam hidupnya. Baik itu orang yang akan menyayanginya, mengkhianatinya, menyakitinya, menyemangatinya, menghargainya, meninggalkannya, mengembangkannya, membencinya, atau mencintainya. Semua orang pasti mendapat seseorang dengan peran yang berbeda untuk mendapatkan semua pengalaman pahit dan manis dalam hidup supaya kamu benar-benar merasakan hidup.

Secara keseluruhan, saya suka dengan isi buku ini walau tidak mencapai level puas. Tema yang diambil tidak pasaran, sehingga bisa menyuguhkan cerita yang berbeda. Buku ini bisa mengajak pembaca (terutama saya) untuk merenungi hidupnya sendiri melalui sudut pandang Jani. Pembaca jadi dapat mengetahui apa yang dirasakan serta dipikirkan oleh tokoh utama.
Buku ini lebih banyak membahas interaksi antara Jani dan Leo. Jani dengan  sikapnya yang cukup memberontak dan Leo yang bijak. Alur ceritanya datar, dan perkembangan cukup lambat. Selama membacanya saya sampai berulang kali berpikir, “Lah, baru sampai begini ceritanya?”. Belum lagi banyaknya percakapan yang panjang tanpa adanya adegan tertentu, malah jadi membosankan. Tapi yah, semua cukup tertolong dengan banyaknya nasihat di buku ini (tipe buku yang saya suka).
Ending cerita ini tidak tertebak! Beberapa buku fiksi yang saya baca (yang bahkan baru sepertiga dari isi bukunya yang saya baca), saya sudah bisa tau bagaimana alur cerita yang disusun hingga akhirnya. Tapi tidak dengan buku ini. Saya yang awalnya berpikir akhir buku ini, jika tidak dengan “titik”, tentu dengan “spasi”. Tapi yang saya dapatkan malah tanda tanya. Penulisnya membiarkan pembaca untuk menebak bagaimana kelanjutannya. Dan ini cukup bikin gregetan D:
Rating 3/5 untuk buku ini saya rasa cukup. Jika penulisnya membuat kelanjutan dari kisah ini, saya pasti akan membacanya lagi. Bagi yang menyukai buku dengan banyak nasihat, buku ini saya rekomendasikan :)

Monday, November 18, 2013

Untuk Mama



Mama...aku rasanya ingin menangis. Sudah kutahan semampuku, namun sesak itu selalu ada menggelayuti hatiku. Berulang kali pikiran bahwa hidup tak berlaku adil menghampiri, namun segera kutepis. Karena katamu, Tuhan selalu adil terhadap semua makhluknya, adil terhadap semua hal yang terjadi di atas bumi ini. Bahkan sehelai daun yang jatuh bekerja karena hendaknya.
Mama...kadang rasanya satu malam jauh lebih panjang dai biasanya. Dan pada saat itu, aku akan sulit untuk memejamkan mata. Apakah aku telah mengecewakan kalian? Apakah aku telah gagal? Pertanyaan seperti itu selalu berputar di kepalaku. Dan membuat kalian kecewa adalah hal terakhir yang akan aku lakukan.
Mama...apakah hidup ini sungguh adil?
Aku sudah berusaha keras dalam setiap tindakanku. Namun mengapa masih saja ada batu besar yang menghalangi setiap langkahku? Mengapa saat aku melihat orang yang tak peduli, setiap langkahnya baik-baik saja? Atau itu hanya pandanganku saja? Aku hanya tidak tahu kesulitan apa yang sesungguhnya menghampiri setiap langkah mereka. Ya, mungkin aku hanya tidak tahu.
Mama...kata mereka, perempuan hebat adalah ia yang pada saat menangis tidak ada satupun manusia yang mengetahuinya, apakah aku sudah menjadi perempuan yang hebat, Ma? Tapi kurasa belum. Aku bahkan merasa sangat malu karena dinding kamar seolah mencemoohku saat ini. Mereka seolah berkata, “Sudah jangan sok! Kami tahu kau menagis!” Rasa-rasanya benda matipun dapat membaca isi hatiku.
Sabar itu buahnya manis, katanya. Sudahkah aku bersikap sabar, Ma? Bisakah aku memetik buah yang manis itu?

 Bandung, 18 November 2013
tiranika

Thursday, November 7, 2013

Review Buku: Negeri Para Bedebah




Penulis          : Tere Liye
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Terbit            : Juli 2012
Halaman       : 440
ISBN           : 978-979-22-8552-9


Di negeri para bedebah, kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata
Di negeri para bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah
Tetapi setidaknya. Kawan, di negeri para bedebah,
petarung sejati tidak akan pernah berkhianat



Buku ini menceritakan tentang Thomas, seorang konsultan keuangan profesional yang hari-harinya sibuk diisi dengan konferensi, seminar, wawancara dll. Konflik cerita ini dimulai saat Thomas menerima telepon dari orang yang dibencinya, yaitu Om Liem, adik dari ayah Thomas. Om Liem mengabarkan bahwa rumahnya telah dikepung oleh satu peleton polisi serta keadaan tantenya yang memburuk. Orang kepercayaan Om Liem, Ram, menceritakan tentang duduk permasalahannya: Bank Semesta milik Om Liem tidak bisa menutup kliring antarbank. Kalah kliring sebesar lima miliar.
Thomas akhirnya membantu omnya untuk kabur dari kepungan polisi. Dengan intrik, tipu daya yang mengagumkan, Om Liem dan Thomas berhasil kabur dari rumah. Pada akhirnya, banyak pihak yang Thomas libatkan untuk masalah ini. Karyawan terbaiknya, teman-teman di klub petarung, Opa yang di sayanginya, hingga wartawan yang menaruh rasa sebal dengannya juga turut serta. 
Bagaimana mungkin, Thomas yang membenci Om Liem akhirnya ikut terlibat dalam pelarian tersangka kejahatan keuangan? Alasannya sederhana. Ini tak hanya lagi kisah tentang pelarian Om Liem, orang yang berbisnis dengan cara yang jahat, namun juga tentang dendam anak berumur enam tahun atas kematian kedua orangtuanya. Thomas akhirnya memilih menyelamatkan Bank Semesta setelah mendengar nama dua orang yang menjadi alasan dendamnya hingga puluhan tahun terlibat dalam masalah ini. Inilah awalnya. Awal atas dendam puluhan tahun dengan segala cara licik yang bisa membuat kita menahan napas saat membacanya.

Thursday, May 30, 2013

ただいま。。。



Aku menghela napas dengan berat. Bau ini…aku tahu ada setitik rindu yang sudah diterbangkan angin kesana. Perasaan yang sudah menumpuk lantas penuh dan tak sanggup tertampung lagi di dalam hatiku. Aku tersenyum lelah dan berbisik dalam hati, “Terbanglah pulang…”
Bau kerinduan ini terlalu kuat hingga rasa-rasanya setiap langkah yang aku lewati turut membawa ingatanku kesana. Ada perasaan takut, sedih, lelah serta marah yang aku rasakan. Hati aku sungguh-sungguh tahu, dimana tempat ia akan selalu pulang. Meski sejauh apa pun kehidupan membawaku, aku punya tempat untuk kembali pulang.
Sepi selalu menjadi temanku akhir-akhir ini. Entah mengapa semua yang aku jalani, sekarang jadi terasa jauh lebih berat. Ada setitik perasaan jenuh yang akhirnya membuat aku sulit berpikir dengan jernih. Membuat aku bertanya, bisakah aku melalui semua ini? Bahkan semua menjadi kian samar saat aku masih meragu dengan masa depanku sendiri.
Bisakah kelak aku diharapkan?
Pertanyaan itu terus menggema dalam benakku membuat sejumput rindu kembali bertambah.
Aku kini harus terus berusaha semampuku. Berjuang agar kelak bisa mengobati rindu ini dan bisa berkata, “Tadaima…”

Bandung, 30 Mei 2013
10:50 PM 
tiranika

Friday, May 24, 2013

(Masih) Tentang Hujan

sumber: http://farmasi080918192931.blogspot.com
Kamu, yang selalu menyetia bersama hujan.
Yang selalu mencuri pandang pada jendela berharap hujan turun.
Tak perlu dinanti. Hujan itu akan datang dengan sendirinya.
Dia akan segera turun saat lelah menggantung di atas sana.

Tapi aku bingung. Kenapa kamu menunggu hujan yang selalu memberikan rasa dingin itu?
Dingin hanya akan menyebabkan gigil pada dirimu. Bahkan tak jarang membuat nyeri.

Kamu tau apa yang seharusnya kamu butuhkan?
Rasa hangat. Bukan dingin, apalagi panas.
Rasa hangat akan menentramkan jiwamu. Karena kamu selama ini sudah terlalu kedinginan.
Yang mungkin sering membuatmu lupa, bagaimana rasanya tersenyum tanpa beban dan bahagia...

tiranika

nb: saya tidak begitu mengingat kapan saya menulis ini. Yang pasti sudah beberapa waktu lalu. Dan itu tidak jauh berbeda waktunya dengan tulisan tentang hujan sebelumnya, Jika Hujan itu Masih Miliknya. Selamat menikmati hujan :)

Monday, May 20, 2013

A Dreams



Akhir-akhir ini saya sering pusing tak menentu serta cemas berkepanjangan. Maklum, saya sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir, sedang sibuk mengurusi tugas akhir saya. Inilah yang membuat saya selalu di landa perasaan ingin pulang ke rumah. Apa daya, rumah keluarga saya terlalu jauh untuk di tempuh jika hanya untuk pulang sesaat. Terlalu berat di ongkos. Belum lagi saya masih punya satu jadwal kuliah.

Tapi karena sudah memasuki semester akhir inilah, saya jadi sering memikirkan, mau jadi apa saya nantinya. Iya, apa yang mau saya lakukan masih buram, rasa-rasanya masa depan saya jadi terasa sulit. Tapi sungguh, saya ingin cepat selesai kuliah. Saya hanya tidak tahu apa yang akan saya lakukan ke depan. Apakah saya akan melanjutkan kuliah atau bekerja. Tapi jika bekerja sesuai dengan kuliah saya saat ini, belum begitu bisa saya yakini.

Beberapa hari lalu, saya dapat tugas kuliah. Nah, disana disuruh menceritakan akan bekerja sebagai apa saat selesai kuliah nanti. Awalnya saya bingung karena saya belum punya rancangan masa depan yang pasti. Dan rasanya ini menjadi tugas yang berat. Padahal…ayolah, hanya bercerita. Bukan disuruh menyulap sebuah rumus fisika baru untuk menghitung tekanan di bawah air. Tapi tiba-tiba saya teringat dengan mimpi saya dulu. Mimpi yang sangat ingin saya wujudkan.

Punya toko buku sendiri. Bukan toko buku biasa, tapi toko buku yang ada mini café di dalamnya. Paling tidak café ini menyediakan kopi, teh serta kudapan ringan lainnya. Jadi pelanggan bisa duduk santai di salah satu pojokan toko sambil menikmati kopi dan bercerita dengan temannya. Iya, seperti toko buku Borders. Karena selain suka buku, saya juga suka makan. Saya bahkan jadi ingin menangis saat mengingat mimpi saya ini.

Makanya saya jadi ingin sekali punya toko buku. Jadi saat ada buku baru, saya bisa jadi yang pertama untuk membuka satu buku dan saya baca dan nantinya bisa dibaca oleh pelanggan. Yah, setiap yang ingin membeli buku, pasti penasaran ingin membaca sekilas isinya. Inilah gunanya buku-buku yang sudah saya buku terlebih dahulu.

Bagi saya toko buku itu salah satu dari bentuk surga dunia. Wangi buku itu menggoda. Mungkin saya akan rela tidur di toko buku jika saya punya nantinya.

Saya sungguh-sungguh ingin punya toko buku. Karena selama ini impian saya hanya di simpan sendiri, nggak pernah benar-benar saya ceritakan bahkan saya perjuangkan. Tapi untuk yang satu ini, paling tidak saya akan menceritakannya dengan orangtua saya. Saya yakin, akan ada jalan untuk mimpi saya yang satu ini.

20 Mei 2013
6:06 PM
tiranika