Thursday, May 30, 2013

ただいま。。。



Aku menghela napas dengan berat. Bau ini…aku tahu ada setitik rindu yang sudah diterbangkan angin kesana. Perasaan yang sudah menumpuk lantas penuh dan tak sanggup tertampung lagi di dalam hatiku. Aku tersenyum lelah dan berbisik dalam hati, “Terbanglah pulang…”
Bau kerinduan ini terlalu kuat hingga rasa-rasanya setiap langkah yang aku lewati turut membawa ingatanku kesana. Ada perasaan takut, sedih, lelah serta marah yang aku rasakan. Hati aku sungguh-sungguh tahu, dimana tempat ia akan selalu pulang. Meski sejauh apa pun kehidupan membawaku, aku punya tempat untuk kembali pulang.
Sepi selalu menjadi temanku akhir-akhir ini. Entah mengapa semua yang aku jalani, sekarang jadi terasa jauh lebih berat. Ada setitik perasaan jenuh yang akhirnya membuat aku sulit berpikir dengan jernih. Membuat aku bertanya, bisakah aku melalui semua ini? Bahkan semua menjadi kian samar saat aku masih meragu dengan masa depanku sendiri.
Bisakah kelak aku diharapkan?
Pertanyaan itu terus menggema dalam benakku membuat sejumput rindu kembali bertambah.
Aku kini harus terus berusaha semampuku. Berjuang agar kelak bisa mengobati rindu ini dan bisa berkata, “Tadaima…”

Bandung, 30 Mei 2013
10:50 PM 
tiranika

Friday, May 24, 2013

(Masih) Tentang Hujan

sumber: http://farmasi080918192931.blogspot.com
Kamu, yang selalu menyetia bersama hujan.
Yang selalu mencuri pandang pada jendela berharap hujan turun.
Tak perlu dinanti. Hujan itu akan datang dengan sendirinya.
Dia akan segera turun saat lelah menggantung di atas sana.

Tapi aku bingung. Kenapa kamu menunggu hujan yang selalu memberikan rasa dingin itu?
Dingin hanya akan menyebabkan gigil pada dirimu. Bahkan tak jarang membuat nyeri.

Kamu tau apa yang seharusnya kamu butuhkan?
Rasa hangat. Bukan dingin, apalagi panas.
Rasa hangat akan menentramkan jiwamu. Karena kamu selama ini sudah terlalu kedinginan.
Yang mungkin sering membuatmu lupa, bagaimana rasanya tersenyum tanpa beban dan bahagia...

tiranika

nb: saya tidak begitu mengingat kapan saya menulis ini. Yang pasti sudah beberapa waktu lalu. Dan itu tidak jauh berbeda waktunya dengan tulisan tentang hujan sebelumnya, Jika Hujan itu Masih Miliknya. Selamat menikmati hujan :)

Monday, May 20, 2013

A Dreams



Akhir-akhir ini saya sering pusing tak menentu serta cemas berkepanjangan. Maklum, saya sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir, sedang sibuk mengurusi tugas akhir saya. Inilah yang membuat saya selalu di landa perasaan ingin pulang ke rumah. Apa daya, rumah keluarga saya terlalu jauh untuk di tempuh jika hanya untuk pulang sesaat. Terlalu berat di ongkos. Belum lagi saya masih punya satu jadwal kuliah.

Tapi karena sudah memasuki semester akhir inilah, saya jadi sering memikirkan, mau jadi apa saya nantinya. Iya, apa yang mau saya lakukan masih buram, rasa-rasanya masa depan saya jadi terasa sulit. Tapi sungguh, saya ingin cepat selesai kuliah. Saya hanya tidak tahu apa yang akan saya lakukan ke depan. Apakah saya akan melanjutkan kuliah atau bekerja. Tapi jika bekerja sesuai dengan kuliah saya saat ini, belum begitu bisa saya yakini.

Beberapa hari lalu, saya dapat tugas kuliah. Nah, disana disuruh menceritakan akan bekerja sebagai apa saat selesai kuliah nanti. Awalnya saya bingung karena saya belum punya rancangan masa depan yang pasti. Dan rasanya ini menjadi tugas yang berat. Padahal…ayolah, hanya bercerita. Bukan disuruh menyulap sebuah rumus fisika baru untuk menghitung tekanan di bawah air. Tapi tiba-tiba saya teringat dengan mimpi saya dulu. Mimpi yang sangat ingin saya wujudkan.

Punya toko buku sendiri. Bukan toko buku biasa, tapi toko buku yang ada mini café di dalamnya. Paling tidak café ini menyediakan kopi, teh serta kudapan ringan lainnya. Jadi pelanggan bisa duduk santai di salah satu pojokan toko sambil menikmati kopi dan bercerita dengan temannya. Iya, seperti toko buku Borders. Karena selain suka buku, saya juga suka makan. Saya bahkan jadi ingin menangis saat mengingat mimpi saya ini.

Makanya saya jadi ingin sekali punya toko buku. Jadi saat ada buku baru, saya bisa jadi yang pertama untuk membuka satu buku dan saya baca dan nantinya bisa dibaca oleh pelanggan. Yah, setiap yang ingin membeli buku, pasti penasaran ingin membaca sekilas isinya. Inilah gunanya buku-buku yang sudah saya buku terlebih dahulu.

Bagi saya toko buku itu salah satu dari bentuk surga dunia. Wangi buku itu menggoda. Mungkin saya akan rela tidur di toko buku jika saya punya nantinya.

Saya sungguh-sungguh ingin punya toko buku. Karena selama ini impian saya hanya di simpan sendiri, nggak pernah benar-benar saya ceritakan bahkan saya perjuangkan. Tapi untuk yang satu ini, paling tidak saya akan menceritakannya dengan orangtua saya. Saya yakin, akan ada jalan untuk mimpi saya yang satu ini.

20 Mei 2013
6:06 PM
tiranika

Marriage? Part 3



Kejadian 3:
Ini obrolan terjadi beberapa hari lalu. Tepatnya di tanggal 14 Mei 2013. Saat itu, aku sedang mengikuti seminar/kuliah umum/penutupan lomba kegiatan mahasiswa. Yah, semua itu sepaket. Saat di tengah acara, aku bercerita dengan salah seorang temanku. Kali ini sebut saja namanya, hmmm…FS.
FS sebenarnya sudah punya kekasih, seusia. Sudah hampir setahun berjalan. Tapi kemarin dia bercerita belum lama ini mengenal seorang laki-laki, sudah bekerja, mapan, berbeda usia 5 tahun dengannya. Mereka cukup dekat. Boleh dibilang, ada unsur campur tangan keluarga FS untuk mengenalkan keduanya. Ada kemungkinan lelaki yang baru dikenalnya ini memiliki ketertarikan dengan FS.
Tapi FS bingung. Dia sudah punya kekasih. Belum lagi laki-laki ini punya masa lalu yang kelam. Batal menikah, padahal sudah banyak persiapan untuk pernikahan itu yang dilakukan. Mantan kekasih lelaki itu yang memutuskan. Dan fakta itu kian membuat FS tidak nyaman. Bisa-bisa dia dianggap sosok perermpuan jahat. Karena sudah punya kekasih tapi masih membiarkan dirinya dekat dengan lelaki lain.
Well, saat FS bercerita, aku langsung berkata, “Udah, pilih yang udah mapan aja! Dari pada yang seusia, nunggunya kelamaan.”
Oke, aku mengakui saran (pernyataan) itu aku usulkan tanpa memikirkan benar-benar terlebih dahulu. Tapi ya, realistis saja. Rasa-rasanya lebih pas dengan yang sudah mapan begitu. Bisa mengayomi, menyeimbangi dan yang pasti, nggak perlu nunggu waktu terlalu lama. Paling lama yah hanya 1-2 tahun untuk menikah? Ya kan?

Sunday, May 19, 2013

Rasialisme

sumber: www.flickriver.com
Tau artinya rasialisme? Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rasialisme ialah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yg berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.
Rasialisme, atau kebanyakan masyarakat lebih sering menyebutnya rasis. Pernah nggak sih kita bertindak rasis baik kepada teman, tetangga atau siapa pun? Atau mungkin pernah menjadi korban dari tindak rasis orang lain?
Saya sekarang mau share pengalaman saya. Bisa dibilang saya ini orang yang sudah beberapa kali menjadi korban rasisme. Dan yang menjadi lebih menyedihkannya ialah yang melakukan itu orang-orang yang tak terduga. Seperti teman dekat saya serta customer service telepon seluler saat saya ingin memperbaiki kerusakan ponsel saya. Aduh, saya kok rasanya jadi ingin nangis ya mengingatnya?
Ah, kalau bukan karena saya lebih sering menutup diri saya dari rasa sakit yang saya dapatkan, mungkin saat kejadian berlangsung, saya bisa melawan orang-orang itu. Toh pada kenyataannya, posisi saya “lebih kuat” dari pada orang-orang itu.
Kejadian pertama. Saya sangat mengingat kejadiannya karena yang melakukannya terhadap saya adalah teman saya sendiri.
Saat itu sudah pulang kuliah, kebutulan hari sudah magrib tapi sudah hampir menjelang isya. Saya sedang menunggu 2 orang teman saya yang sedang sholat untuk pulang bersama. Saya sendiri tidak sholat, lantaran sedang datang bulan. Lalu datang 1 orang teman laki-laki saya. Saat melihat dia, saya mengingatkan dia untuk segera sholat. Tapi dia beralasan tidak mungkin untuk sholat magrib lagi, lantaran sudah mau isya. Ya sudah, saya tidak mau memaksa. Yang penting saya sudah mengingatkan.

Marriage? Part 2

sumber: http://megainfo92.blogspot.com


Kejadian 2:
Ini terjadi beberapa minggu lalu. Mungkin sekitar 2 mingguan. Saat itu, aku sedang di kosan. Aku ingin mengambil kopi kaleng punyaku yang aku simpan di lemari pendingin.
Saat ingin kembali ke kamar, tiba-tiba aku mendengar jeritan salah satu teman kosanku. Bukan jeritan histeris atau yang bagaimana. Tapi jeritan yang lebih terdengar shock dan tidak menyangka. Aku urungkan niat untuk kembali ke kamar. Mungkin sedikit mengintip untuk mencari tahu tidak ada salahnya. Kebetulan pintu kamarnya tidak tertutup. Kepalaku menyembul dari balik pintu kamarnya. Hmmm…kita sebut saja teman aku ini A.
“Ada apa, A?” tanyaku.
“Nin, orangtuanya teman SMA-ku…” Dia belum menyelesaikan kata-katanya langsung aku potong saja tanpa piker panjang.
“Kamu dilamar?” Aku tidak tau pemikiran itu dari mana datangnya. Aku rasa mulutku bergerak sendiri.
“Jadi begini, dulu itu…” Lagi-lagi dia belum menyelesaikan kata-katanya, aku potong kembali.
“Sebentar! Aku tutup pintu kamar dulu.” Aku teringat pintu kamarku yang aku biarkan terbuka tadi untuk mengambil kopi. Aku cepat-cepat menutup pintu kamar dan meletakkan kopi yang sudah aku ambil. Kopi bisa nanti, cerita ini sepertinya lebih penting.
Ah, aku tak perlu rasanya untuk menceritakan secara utuh cerita kami saat itu. Yang pasti tebakan asal nyomot aku benar. A dilamar oleh orangtua teman SMA-nya -yang juga temannya saat SD- untuk anaknya. Bukan untuk si bapak. Kita sebut saja teman SMA ini dengan RI. (Oke, aku memang payah untuk urasan nama-nama begini)

Friday, May 17, 2013

Marriage? Part 1



Kejadian 1:

Kejadian ini sudah beberapa bulan lalu. Aku sedang asik ngobrol dengan salah satu temanku, senior, teman  satu kosan. Sebut saja namanya kak R. Aku kurang begitu mengingat apa tepatnya yang saat itu sedang kami obrolin. Pokoknya aku sempat menyebut tentang usiaku di dalam obrolan kami itu. Kurang lebih seperti ini dialog yang terjadi:
“…Iya kak, aku aja sekarang umurnya udah 20 tahun. Masih aja…” kak R lantas tiba-tiba seperti baru mengingat sesuatu dan mendadak panik.
“Hah? Umur kamu 20? Trus umur aku berapa dong?” aku lantas melongo. Kenapa bisa-bisanya lupa dengan usia sendiri. Tapi kak R sebegitu kalutnya hingga benar-benar tidak bisa menginat usianya. Aku pun membantunya  menjawab pertanyaan itu, walaupun masih belum mengerti dengan situasinya.
“Umur kakak 22 tahun, belum genap. Tapi tahun ini umur kakak 22 tahun.”
“Oh iya? Masa?” Kak R masih terlihat ragu dengan jawabanku. Ini ada apa sih? Batinku.
“Seharusnya sih emang tahun ini 22 tahun. Kakak kelahiran ’91, kan?” aku jadi ragu sendiri dengan jawabanku.