![]() |
sumber: www.flickriver.com |
Tau artinya rasialisme? Kalau menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia,
rasialisme ialah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yg berat
sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; paham bahwa ras diri sendiri
adalah ras yang paling unggul.
Rasialisme,
atau kebanyakan masyarakat lebih sering menyebutnya rasis. Pernah nggak sih
kita bertindak rasis baik kepada teman, tetangga atau siapa pun? Atau mungkin
pernah menjadi korban dari tindak rasis orang lain?
Saya
sekarang mau share pengalaman saya. Bisa
dibilang saya ini orang yang sudah beberapa kali menjadi korban rasisme. Dan yang
menjadi lebih menyedihkannya ialah yang melakukan itu orang-orang yang tak
terduga. Seperti teman dekat saya serta customer
service telepon seluler saat saya ingin memperbaiki kerusakan ponsel saya.
Aduh, saya kok rasanya jadi ingin nangis ya mengingatnya?
Ah,
kalau bukan karena saya lebih sering menutup diri saya dari rasa sakit yang
saya dapatkan, mungkin saat kejadian berlangsung, saya bisa melawan orang-orang
itu. Toh pada kenyataannya, posisi saya “lebih kuat” dari pada orang-orang itu.
Kejadian
pertama. Saya sangat mengingat kejadiannya karena yang melakukannya terhadap
saya adalah teman saya sendiri.
Saat
itu sudah pulang kuliah, kebutulan hari sudah magrib tapi sudah hampir
menjelang isya. Saya sedang menunggu 2 orang teman saya yang sedang sholat
untuk pulang bersama. Saya sendiri tidak sholat, lantaran sedang datang bulan. Lalu
datang 1 orang teman laki-laki saya. Saat melihat dia, saya mengingatkan dia
untuk segera sholat. Tapi dia beralasan tidak mungkin untuk sholat magrib lagi,
lantaran sudah mau isya. Ya sudah, saya tidak mau memaksa. Yang penting saya
sudah mengingatkan.
Setelah
kedua orang teman saya selesai sholat, kami pulang. Baru tiba di depan kampus,
saya mendengar suara orang adzan isya. Lantas saya mengatakan kepada teman saya
itu, “Lah, itu adzan isya baru. R tadi aku suruh sholat magrib gak mau. Katanya
udah mau isya. Kalau dia sholat kaya’nya keburu deh tadi.”
Salah
satu teman saya itu malah menyeletuk dengan tidak disaring sama sekali yang
bikin saya sungguh-sungguh sakit saat itu, “Lah orang minang kan emang pada
malas sholat!”
Hell! Maksudnya apaan? Saya pribadi
juga bersuku minang. Walau bukan mengatakan saya secara langsung, tapi dia juga
sudah sungguh-sungguh melukai hati saya. Bisa saja saat itu dia saya tampar. Toh
badan saya juga lebih besar dari dia.
Saya
lantas bertanya, dengan emosi di ubun-ubun yang susah payah saya tahan, “Dari
mana buktinya kalau orang minang itu malas sholat?”
“Ya…katanya
sih. Eh, kamu juga orang minang ya? Eh, nggak tau juga sih. Katanya gitu.”
Apa-apaan
dia itu? “Katanya”? Katanya siapa? Saya belum pernah tuh dengar ada orang yang
bicara seperti itu. Lalu kenapa dia jadi gugup saat sadar kalau saya juga orang
minang? Nyadar kalau udah salah tempat ngomong? Atau nyadar kalau omongannya
nggak ada bukti sama sekali?
Setelah
mendengar alasan nggak masuk akal dia itu, sepanjang perjalanan saya hanya
diam. Tidak berbicara sama sekali. Muka saya sudah saya tekuk. Dan yang lebih
menyebalkannya, dia tidak ada meminta maaf sama
sekali untuk kejadian itu.
Saya
sungguh heran. Dia bisa dibilang memiliki pengetahuan agama yang lebih baik dari
saya. Seharusnya dia tahu bahwa Tuhan saja pernah berfirman bahwa keimanan
manusia itu tidak bisa diukur dari ras, suku, cakap tidaknya. Tapi kenapa dia
bisa seperti itu? Bahkan tanpa meminta maaf telah berkata sembarangan. Saya bakal
memaafkan kok, kalau dia menyadari perbuatannya.
Setibanya di kos-kosan, saya berusaha mencari pelampiasan emosi, rasa sakit serta kecewa saya. Saat salah satu teman kosan saya pulang, langsung saya temui dan menangis sepuasnya.
Setibanya di kos-kosan, saya berusaha mencari pelampiasan emosi, rasa sakit serta kecewa saya. Saat salah satu teman kosan saya pulang, langsung saya temui dan menangis sepuasnya.
Saya
belum pernah di begituin. Sekalinya dijadikan korban rasisme oleh teman saya
sendiri. Teman dekat. Menyedihkan bukan?
![]() |
sumber: http://www.indonesiamedia.com |
Lalu
kejadian selanjutnya baru terjadi 2 hari yang lalu. Di hari jumat saat saya
ingin memperbaiki ponsel saya di counter
resmi yang lokasinya berada di salah satu toko buku besar di Bandung. Kali ini
pelakunya ialah customer service.
Dia
seorang laki-laki. Banyak omong dan itu yang bikin dia nggak nyadar
kata-katanya udah nyakitin hati saya.
Saya
saat itu memang banyak Tanya. Terutama untuk urusan biayanya. Maklum anak
kuliah, semua serba diperhitungkan. Apalagi saya sudah berniat untuk menghemat
pengeluaran. Tapi dia sepertinya kesal dan akhirnya nyeletuk, “Banyak tanya banget
ya.”
Memang dia mengucapkan sambil tersenyum. Tapi saya bisa menangkap kesinisan dalam kata-kata itu. Please ya, saya pelanggan. Saya berhak dong buat banyak nanya? Toh bukan merugikan kantornya juga. Saya hanya menahan emosi saya. Saya anggap pertanyaan saya terlalu annoying.
Saya
semakin tidak suka dengan orang itu ketika melihat tingkah lakunya yang kurang
ajar. Saat pertama hanya saya sendiri yang datang ke meja cs. Tapi karena saya
sempat mengalami kebingungan, saya akhirnya memanggil teman saya yang ada di
kursi tunggu untuk menemani saya?
And you know what? Orang itu yang awalnya
bertindak sinis terhadap saya, tiba-tiba menjadi “manis”. Apalagi saat dia
bertanya dari mana asal kami. Well,
saya yakin dia cuma ingin mengetahui dari mana asal teman saya itu. Semakin berkilaulah
wajahnya saat tahu teman saya berasal dari Bandung. Saya diacuhkan. Dia sibuk
berbicara dengan teman saya. Saya juga nggak ambil pusing. Saya sudah malas
dengan orang itu. Terserah dia mau melakukan apa. Walau kejengkelan tetap ada. Iya
dong, saya yang berkepentingan lho disana. Bukan
teman saya!
Sebelumnya
dia bertanya dari mana asal kami,
dia sempat berceletuk asal kepada saya, “Kamu asalnya dari mana sih? Pasti dari
Papua?”
Maksud
lo? Secara nggak langsung dia menghina kulit saya yang memang gelap, saya akui.
Nggak jadi soal juga saat itu. Toh Papua juga masih bagian dari Indonesia. Selama
saya bukan dianggap teroris, saya nggak peduli.
Dan
akhirnya saya menjawab, “Yayaya…terserah.”
Teman
saya itu memang tipe orang yang mau berteman dengan siapa saja. Bawaannya santai.
Bahkan saat ada tukang parkir yang godain sepatu dia, juga tetap dia tanggapi. Termasuk
saat cs itu “bersikap baik” dengan dia.
Saya
dan teman saya duduk berdampingan di meja cs. Dan saya yakin, demi menarik
perhatian teman saya, si cs berkata seperti ini, “Kalian mirip ya. Adik kakak
ya?”
Tolong
ya! Tadi anda bilang saya orang Papua. Lalu sekarang anda bilang kami berdua
mirip? Jelas-jelas teman saya sebegitu putihnya. Anda tidak konsisten dengan
omongan anda!
Memang
saya akui kami punya jenis muka yang sama, bulat. Belum lagi pipi yang sedikit
berisi. Tapi bukan berarti mengajukan statement lantas beberapa saat setelahnya
mengajukan bantahan! Bahkan kata-kata dia yang mengatakan saya orang Papua juga
masih anget.
Saya
masih sibuk mem-backup nomer
teman-teman saya ke dalam kartu sim. Orang itu malah sibuk mencari perhatian
teman saya dengan mengajaknya ngobrol. Jadi saya acuhkan. Walau sebenarnya otak
saya berpikir cepat. Cih! Ini orang benar-benar suka dengan teman saya. Saya setelahnya
nyengir tertahan lantaran teringat teman saya itu sedang “galau dua pilihan”. Dan
sekarang malah ada orang lain yang ikutan tertarik dengan dia. Sepertinya akan ada
pilihan ketiga.
Saat
akhirnya dia mencatat data imei saya untuk perbaikan, ternyata ada perbedaan
dana karena ponsel saya ini bukan untuk produk Indonesia. Jadi biayanya lebih
mahal. Karena saya ingin urusan capat selesai dengan orang itu, saya mengangguk
saja tanda menyetujui dengan dana yang disebutkan. Yang penting ponsel saya
kembali normal.
Tapi
anda tahu apa yang orang itu bilang selanjutnya, “Oh iya nggak apa-apa ya. Ntar
duitnya tinggal minta aja ama orangtua.”
B*tch! Maksudnya apaan? Ngerti apa
orang itu tentang kehidupan saya? Kenal juga tidak! Dia bukan teman saya. Saya sebenarnya
ingin sekali saat itu komplain ke pimpinan dia, kalau bisa bikin dia kehilangan
pekerjaan. Hanya dalam beberapa menit, dia sudah berulang kali menyakiti hati
saya. Tolong, saya pelanggan. Saya rasa saya berhak mendapatkan pelayanan yang professional.
Bukan seperti orang itu.
Tapi
saya masih punya hati untuk tidak memutuskan rezeki orang lain. Dan saya hanya
diam.
Setelah
ponsel saya diserahkan untuk ditangani selama satu hingga dua jam, kami berdua
pergi. Jalan-jalan, refreshing. Saat akhirnya
untuk mengambil ponsel saya kembali, entah takdir macam apa yang saat itu
sedang bekerja, tapi saya lagi-lagi dilayani oleh orang itu. Bisa sangat pas
sekali saat antrian saya, orang itu yang kosong. Padahal disana ada banyak cs
lainnya!
Lagi-lagi
saat pertama ke meja cs, saya sendiri. Orang itu akhirnya menyadari bahwa saya
adalah orang yang sebelumnya. Dia terasa enggan melayani saya. Saya nggak
peduli. Saya cuma butuh ponsel saya cepat kembali. Sebelum beranjak mengambil
ponsel saya, dia bertanya, “Nama teman kamu siapa?”
Saya
awalnya nggak terlalu mendengarkan nama siapa yang ditanya oleh orang itu. Saya
kira dia menanyakan nama saya. Jadi saya jawab saja. Mungkin untuk keperluan
pencatatan data.
“Bukan.
Nama teman kamu.” Lagi-lagi ada kesinisan disana.
“Oh,
Ria.”
Saya
benar-benar berhak buat komplain saat
itu. Saya yang berkepentingan! Bukan teman saya! Apa gunanya dia
bertanya soal teman saya? Cih! Kalau anda tertarik dengan seseorang, seharusnya
anda juga harus bersikap manis dengan temannya. Karena itu penting!
Dan
akhirnya, banyaknya tindak rasisme yang saya terima hari itu dari seorang customer service berakhir dengan orang
itu masih mencari perhatian teman saya dengan menawarkan untuk membeli sebuah power bank bahkan dengan harga diskon. Padahal
dari kantor tidak ada diskon sama
sekali. Mau supaya kami lebih lama
disana, ya?
Itu
dia pengalaman saya menjadi korban rasialisme. Sakit hati sudah pasti. Sedih dan
kecewa apa lagi. Tapi saya selalu berusaha berlapang dada. Terutama berusaha
untuk menghilangkan perasaan saya yang menganggap diri sendiri sebagai makhluk
yang menyedihkan.
Ini mengingatkan saya agar jangan sampai bertindak seperti itu juga pada orang lain. Jangan pernah sekali-kalinya melakukan hal yang sama untuk membalas. Karena saya sangat tahu bagaimana rasa sakitnya. Saya juga tahu itu tidak akan ada gunanya. Saya selalu menegaskan dalam pikiran saya, ini tandanya Tuhan masih sayang sama saya. Ini ujian untuk bisa "naik kelas".
Ini mengingatkan saya agar jangan sampai bertindak seperti itu juga pada orang lain. Jangan pernah sekali-kalinya melakukan hal yang sama untuk membalas. Karena saya sangat tahu bagaimana rasa sakitnya. Saya juga tahu itu tidak akan ada gunanya. Saya selalu menegaskan dalam pikiran saya, ini tandanya Tuhan masih sayang sama saya. Ini ujian untuk bisa "naik kelas".
Saya
ingin "naik kelas". Saya sungguh-sungguh harus banyak belajar, memperbaiki
diri. Saya ingin menjadi manusia dengan hati yang begitu lapang seperti hatinya
kak Laisa.
Bandung, 19 Mei 2013
12:50 AM
tiranika
0 comments:
Post a Comment