Sunday, May 19, 2013

Rasialisme

sumber: www.flickriver.com
Tau artinya rasialisme? Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rasialisme ialah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yg berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda; paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.
Rasialisme, atau kebanyakan masyarakat lebih sering menyebutnya rasis. Pernah nggak sih kita bertindak rasis baik kepada teman, tetangga atau siapa pun? Atau mungkin pernah menjadi korban dari tindak rasis orang lain?
Saya sekarang mau share pengalaman saya. Bisa dibilang saya ini orang yang sudah beberapa kali menjadi korban rasisme. Dan yang menjadi lebih menyedihkannya ialah yang melakukan itu orang-orang yang tak terduga. Seperti teman dekat saya serta customer service telepon seluler saat saya ingin memperbaiki kerusakan ponsel saya. Aduh, saya kok rasanya jadi ingin nangis ya mengingatnya?
Ah, kalau bukan karena saya lebih sering menutup diri saya dari rasa sakit yang saya dapatkan, mungkin saat kejadian berlangsung, saya bisa melawan orang-orang itu. Toh pada kenyataannya, posisi saya “lebih kuat” dari pada orang-orang itu.
Kejadian pertama. Saya sangat mengingat kejadiannya karena yang melakukannya terhadap saya adalah teman saya sendiri.
Saat itu sudah pulang kuliah, kebutulan hari sudah magrib tapi sudah hampir menjelang isya. Saya sedang menunggu 2 orang teman saya yang sedang sholat untuk pulang bersama. Saya sendiri tidak sholat, lantaran sedang datang bulan. Lalu datang 1 orang teman laki-laki saya. Saat melihat dia, saya mengingatkan dia untuk segera sholat. Tapi dia beralasan tidak mungkin untuk sholat magrib lagi, lantaran sudah mau isya. Ya sudah, saya tidak mau memaksa. Yang penting saya sudah mengingatkan.

Setelah kedua orang teman saya selesai sholat, kami pulang. Baru tiba di depan kampus, saya mendengar suara orang adzan isya. Lantas saya mengatakan kepada teman saya itu, “Lah, itu adzan isya baru. R tadi aku suruh sholat magrib gak mau. Katanya udah mau isya. Kalau dia sholat kaya’nya keburu deh tadi.”
Salah satu teman saya itu malah menyeletuk dengan tidak disaring sama sekali yang bikin saya sungguh-sungguh sakit saat itu, “Lah orang minang kan emang pada malas sholat!”
Hell! Maksudnya apaan? Saya pribadi juga bersuku minang. Walau bukan mengatakan saya secara langsung, tapi dia juga sudah sungguh-sungguh melukai hati saya. Bisa saja saat itu dia saya tampar. Toh badan saya juga lebih besar dari dia.
Saya lantas bertanya, dengan emosi di ubun-ubun yang susah payah saya tahan, “Dari mana buktinya kalau orang minang itu malas sholat?”
“Ya…katanya sih. Eh, kamu juga orang minang ya? Eh, nggak tau juga sih. Katanya gitu.”
Apa-apaan dia itu? “Katanya”? Katanya siapa? Saya belum pernah tuh dengar ada orang yang bicara seperti itu. Lalu kenapa dia jadi gugup saat sadar kalau saya juga orang minang? Nyadar kalau udah salah tempat ngomong? Atau nyadar kalau omongannya nggak ada bukti sama sekali?
Setelah mendengar alasan nggak masuk akal dia itu, sepanjang perjalanan saya hanya diam. Tidak berbicara sama sekali. Muka saya sudah saya tekuk. Dan yang lebih menyebalkannya, dia tidak ada meminta maaf sama sekali untuk kejadian itu.
Saya sungguh heran. Dia bisa dibilang memiliki pengetahuan agama yang lebih baik dari saya. Seharusnya dia tahu bahwa Tuhan saja pernah berfirman bahwa keimanan manusia itu tidak bisa diukur dari ras, suku, cakap tidaknya. Tapi kenapa dia bisa seperti itu? Bahkan tanpa meminta maaf telah berkata sembarangan. Saya bakal memaafkan kok, kalau dia menyadari perbuatannya.

Setibanya di kos-kosan, saya berusaha mencari pelampiasan emosi, rasa sakit serta kecewa saya. Saat salah satu teman kosan saya pulang, langsung saya temui dan menangis sepuasnya.

Saya belum pernah di begituin. Sekalinya dijadikan korban rasisme oleh teman saya sendiri. Teman dekat. Menyedihkan bukan?
sumber: http://www.indonesiamedia.com

Lalu kejadian selanjutnya baru terjadi 2 hari yang lalu. Di hari jumat saat saya ingin memperbaiki ponsel saya di counter resmi yang lokasinya berada di salah satu toko buku besar di Bandung. Kali ini pelakunya ialah customer service.
Dia seorang laki-laki. Banyak omong dan itu yang bikin dia nggak nyadar kata-katanya udah nyakitin hati saya.
Saya saat itu memang banyak Tanya. Terutama untuk urusan biayanya. Maklum anak kuliah, semua serba diperhitungkan. Apalagi saya sudah berniat untuk menghemat pengeluaran. Tapi dia sepertinya kesal dan akhirnya nyeletuk, “Banyak tanya banget ya.”

Memang dia mengucapkan sambil tersenyum. Tapi saya bisa menangkap kesinisan dalam kata-kata itu. Please ya, saya pelanggan. Saya berhak dong buat banyak nanya? Toh bukan merugikan kantornya juga. Saya hanya menahan emosi saya. Saya anggap pertanyaan saya terlalu annoying.
Saya semakin tidak suka dengan orang itu ketika melihat tingkah lakunya yang kurang ajar. Saat pertama hanya saya sendiri yang datang ke meja cs. Tapi karena saya sempat mengalami kebingungan, saya akhirnya memanggil teman saya yang ada di kursi tunggu untuk menemani saya?
And you know what? Orang itu yang awalnya bertindak sinis terhadap saya, tiba-tiba menjadi “manis”. Apalagi saat dia bertanya dari mana asal kami. Well, saya yakin dia cuma ingin mengetahui dari mana asal teman saya itu. Semakin berkilaulah wajahnya saat tahu teman saya berasal dari Bandung. Saya diacuhkan. Dia sibuk berbicara dengan teman saya. Saya juga nggak ambil pusing. Saya sudah malas dengan orang itu. Terserah dia mau melakukan apa. Walau kejengkelan tetap ada. Iya dong, saya yang berkepentingan lho disana. Bukan teman saya!
Sebelumnya dia bertanya dari mana asal kami, dia sempat berceletuk asal kepada saya, “Kamu asalnya dari mana sih? Pasti dari Papua?”
Maksud lo? Secara nggak langsung dia menghina kulit saya yang memang gelap, saya akui. Nggak jadi soal juga saat itu. Toh Papua juga masih bagian dari Indonesia. Selama saya bukan dianggap teroris, saya nggak peduli.
Dan akhirnya saya menjawab, “Yayaya…terserah.”
Teman saya itu memang tipe orang yang mau berteman dengan siapa saja. Bawaannya santai. Bahkan saat ada tukang parkir yang godain sepatu dia, juga tetap dia tanggapi. Termasuk saat cs itu “bersikap baik” dengan dia.
Saya dan teman saya duduk berdampingan di meja cs. Dan saya yakin, demi menarik perhatian teman saya, si cs berkata seperti ini, “Kalian mirip ya. Adik kakak ya?”
Tolong ya! Tadi anda bilang saya orang Papua. Lalu sekarang anda bilang kami berdua mirip? Jelas-jelas teman saya sebegitu putihnya. Anda tidak konsisten dengan omongan anda!
Memang saya akui kami punya jenis muka yang sama, bulat. Belum lagi pipi yang sedikit berisi. Tapi bukan berarti mengajukan statement lantas beberapa saat setelahnya mengajukan bantahan! Bahkan kata-kata dia yang mengatakan saya orang Papua juga masih anget.
Saya masih sibuk mem-backup nomer teman-teman saya ke dalam kartu sim. Orang itu malah sibuk mencari perhatian teman saya dengan mengajaknya ngobrol. Jadi saya acuhkan. Walau sebenarnya otak saya berpikir cepat. Cih! Ini orang benar-benar suka dengan teman saya. Saya setelahnya nyengir tertahan lantaran teringat teman saya itu sedang “galau dua pilihan”. Dan sekarang malah ada orang lain yang ikutan tertarik dengan dia. Sepertinya akan ada pilihan ketiga.
Saat akhirnya dia mencatat data imei saya untuk perbaikan, ternyata ada perbedaan dana karena ponsel saya ini bukan untuk produk Indonesia. Jadi biayanya lebih mahal. Karena saya ingin urusan capat selesai dengan orang itu, saya mengangguk saja tanda menyetujui dengan dana yang disebutkan. Yang penting ponsel saya kembali normal.
Tapi anda tahu apa yang orang itu bilang selanjutnya, “Oh iya nggak apa-apa ya. Ntar duitnya tinggal minta aja ama orangtua.”
B*tch! Maksudnya apaan? Ngerti apa orang itu tentang kehidupan saya? Kenal juga tidak! Dia bukan teman saya. Saya sebenarnya ingin sekali saat itu komplain ke pimpinan dia, kalau bisa bikin dia kehilangan pekerjaan. Hanya dalam beberapa menit, dia sudah berulang kali menyakiti hati saya. Tolong, saya pelanggan. Saya rasa saya berhak mendapatkan pelayanan yang professional. Bukan seperti orang itu.
Tapi saya masih punya hati untuk tidak memutuskan rezeki orang lain. Dan saya hanya diam.

Setelah ponsel saya diserahkan untuk ditangani selama satu hingga dua jam, kami berdua pergi. Jalan-jalan, refreshing. Saat akhirnya untuk mengambil ponsel saya kembali, entah takdir macam apa yang saat itu sedang bekerja, tapi saya lagi-lagi dilayani oleh orang itu. Bisa sangat pas sekali saat antrian saya, orang itu yang kosong. Padahal disana ada banyak cs lainnya!
Lagi-lagi saat pertama ke meja cs, saya sendiri. Orang itu akhirnya menyadari bahwa saya adalah orang yang sebelumnya. Dia terasa enggan melayani saya. Saya nggak peduli. Saya cuma butuh ponsel saya cepat kembali. Sebelum beranjak mengambil ponsel saya, dia bertanya, “Nama teman kamu siapa?”
Saya awalnya nggak terlalu mendengarkan nama siapa yang ditanya oleh orang itu. Saya kira dia menanyakan nama saya. Jadi saya jawab saja. Mungkin untuk keperluan pencatatan data.
“Bukan. Nama teman kamu.” Lagi-lagi ada kesinisan disana.
“Oh, Ria.”
Saya benar-benar berhak buat komplain saat itu. Saya yang berkepentingan! Bukan teman saya! Apa gunanya dia bertanya soal teman saya? Cih! Kalau anda tertarik dengan seseorang, seharusnya anda juga harus bersikap manis dengan temannya. Karena itu penting!
Dan akhirnya, banyaknya tindak rasisme yang saya terima hari itu dari seorang customer service berakhir dengan orang itu masih mencari perhatian teman saya dengan menawarkan untuk membeli sebuah power bank bahkan dengan harga diskon. Padahal dari kantor tidak ada diskon sama sekali. Mau supaya kami lebih lama disana, ya?
Itu dia pengalaman saya menjadi korban rasialisme. Sakit hati sudah pasti. Sedih dan kecewa apa lagi. Tapi saya selalu berusaha berlapang dada. Terutama berusaha untuk menghilangkan perasaan saya yang menganggap diri sendiri sebagai makhluk yang menyedihkan.

Ini mengingatkan saya agar jangan sampai bertindak seperti itu juga pada orang lain. Jangan pernah sekali-kalinya melakukan hal yang sama untuk membalas. Karena saya sangat tahu bagaimana rasa sakitnya. Saya juga tahu itu tidak akan ada gunanya. Saya selalu menegaskan dalam pikiran saya, ini tandanya Tuhan masih sayang sama saya. Ini ujian untuk bisa "naik kelas".
 
Saya ingin "naik kelas". Saya sungguh-sungguh harus banyak belajar, memperbaiki diri. Saya ingin menjadi manusia dengan hati yang begitu lapang seperti hatinya kak Laisa.

Bandung, 19 Mei 2013
12:50 AM
tiranika

0 comments:

Post a Comment