![]() |
sumber: http://megainfo92.blogspot.com |
Kejadian 2:
Ini terjadi
beberapa minggu lalu. Mungkin sekitar 2 mingguan. Saat itu, aku sedang di
kosan. Aku ingin mengambil kopi kaleng punyaku yang aku simpan di lemari
pendingin.
Saat ingin
kembali ke kamar, tiba-tiba aku mendengar jeritan salah satu teman kosanku.
Bukan jeritan histeris atau yang bagaimana. Tapi jeritan yang lebih terdengar shock dan tidak menyangka. Aku urungkan
niat untuk kembali ke kamar. Mungkin sedikit mengintip untuk mencari tahu tidak
ada salahnya. Kebetulan pintu kamarnya tidak tertutup. Kepalaku menyembul dari
balik pintu kamarnya. Hmmm…kita sebut saja teman aku ini A.
“Ada apa, A?”
tanyaku.
“Nin,
orangtuanya teman SMA-ku…” Dia belum menyelesaikan kata-katanya langsung aku
potong saja tanpa piker panjang.
“Kamu dilamar?”
Aku tidak tau pemikiran itu dari mana datangnya. Aku rasa mulutku bergerak
sendiri.
“Jadi begini,
dulu itu…” Lagi-lagi dia belum menyelesaikan kata-katanya, aku potong kembali.
“Sebentar! Aku
tutup pintu kamar dulu.” Aku teringat pintu kamarku yang aku biarkan terbuka
tadi untuk mengambil kopi. Aku cepat-cepat menutup pintu kamar dan meletakkan
kopi yang sudah aku ambil. Kopi bisa nanti, cerita ini sepertinya lebih
penting.
Ah, aku tak
perlu rasanya untuk menceritakan secara utuh cerita kami saat itu. Yang pasti
tebakan asal nyomot aku benar. A
dilamar oleh orangtua teman SMA-nya -yang juga temannya saat SD- untuk anaknya.
Bukan untuk si bapak. Kita sebut saja teman SMA ini dengan RI. (Oke, aku memang
payah untuk urasan nama-nama begini)
Lamaran itu…bisakah
aku sebut secara langsung? Apa tidak langsung? Implisit atau eksplisit?
Intinya orangtua
RI, mengirimkan pesan singkat kepada A, apakah A sudah punya calon atau belum.
Sms ini yang membuat A menjerit shock.
Aku membantu A untuk menjawab.
“Bilang aja belum
kepikiran. Skripsi juga belum kelar.” Begitu saranku kala itu.
Setelah A
mengirim pesan yang kurang lebih isinya begitu, orangtua RI kembali membalas
pesan tersebut. Oke, isinya kali ini makin bikin A galau. Orangtua menyatakan
kecemasannya jika nanti ‘keduluan’ dari orang lain.
Aku pribadi saat
mendengar tentang lamaran ini langsung bersemangat dan menyuruh A untuk
menerima lamaran itu! Iya, langsung terima aja! Soalnya aku dari dulu selalu
berpikir, “Ini nggak ada temen aku yang mau nikah ya? Biar aku bisa datang ke
acaranya.”
Iya, karena aku
ingin bisa menghadiri acara pernikahan teman aku. Terutama yang sudah dekat
seperti A. Makanya aku menyuruh A untuk menerima lamaran itu.
Selain itu ya,
ada pertimbangan A juga mengenai RI. berdasarkan cerita A, RI sosok lelaki yang
sholeh, baik, sudah berpenghasilan yang baik, seorang mahasiswa teknik ITB.
Sebenarnya ini sudah ‘paket lengkap’ dari keinginan A. dia ingin laki-laki yang
sholeh, yg bisa jadi imam, berpenghasilan dan ini yang bikin greget, mahasiswa
teknik ITB!
Bukan..bukan
lantaran label ‘ITB’. Tapi karena A sebelumnya sempat berceletuk, entah serius
atau hanya celetukan asal. Dia bilang, “Aku mau nyari anak teknik ITB, ah…”
Dan voila! Omongannya langsung di aminkan
oleh malaikat. Dia langsung mendapatkan paket lengkap, benar-benar lengkap
sesuai dengan keinginannya. Apalagi yang kurang coba?
“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu
dustakan?” (QS. Ar-Rahman)
Tapiii…RI ini
orangnya keras. Nah, kerasnya ini yang membuat A ragu, selain karena A baru
saja move on dari memikirkan tentang
M.
Siapa pula M
itu? Ah, sudah, nggak perlu tahu. Hehehe…
Yah,
pokoknya setelah kegalauan panjang hari itu, setelah menelepon orangtuanya, A
akhirnya bisa memutuskan. Dan jawabannya: tidak. Kayaknya orangtua A masih
menginginkan A untuk selesai dulu kuliahnya dan masih penasaran dengan M.
Yeahh…padahal aku sebagai teman A sudah ilfeel
dengan M. Kenapa dia masih jadi bahan pertimbangan?
tiranika
0 comments:
Post a Comment